Resensi Buku
Judul buku: Dinamika Sistem Politik
Indonesia
Penulis : Dr.Yaya Mulyana Aziz, M.Si
Syarief Hidayat, S.Ip., M.Si.
Penerbit: CV PUSTAKA SETIA
Cetakan: l, 2016
Halaman: xx + 338 halaman
ISBN :978-979-076-584-9
Isi Resensi:
Kaum Elite
Setelah beberapa tahun menjadi wartawan lepas
serta penulis dibeberapa majalah dan koran
lokal, akhirnya yahya dan Syarief menyajikan sebuah buku yang menyinggung
masalah politik khususnya di Indonesia, di mana ia telah melakukan penelitian bidang
pemerintahan, kebijakan publik, dan otonomi daerah.
Lewat buku ini yahya dan Syarief berusaha mencandrakan sebuah perubahan dan
pergolakan negara Indonesia dari tingkat infrastruktur, proses dan
suprastruktur politik. Mereka dengan mudah memaparkan persoalan yang ada, namun
ada beberapa pembahasan yang diulang pada bab berikutnya, sehingga pembaca
sulit menemukan materi lain.
Terdiri 15 bab, yang merangkum tentang
sistem politik, struktur politik, retradisionalisasi perilaku elite politik,
dinamika gerakan islam, dan lainnya. Bagian terpenting dari seluruh materi yang
dibahas yaitu hal yang berorientasi
tentang persoalan kelompok elite politik, hakikatnya persoalan politik
sangat melekat dengan peranan elite.
Saya sependapat dengan apa yang telah
disapaikan buku ini tentang kelonpok elite, yang mana penjelasan elite dalam buku ini merupakan
entitas yang mempunyai kedudukan, kekuasaan, kewenangan, dalam mengatur,
memutuskan, serta membuat kebijakan untuk keperluan rakyat luas. Namun,
dijelaskan bahwasanya kedudukan elite bersifat sementara , suatu saat akan
digantikan oleh elite lainnya atau bahkan non elite. Terkadang dengan kedudukan
yang lebih tinggi para elite sering
berbuat otoriter.
Sejatinya kelompok elite lebih sedikit (minoritas) dibanding kelompok non elite,
tetapi karena dengan pemikiran mereka bisa menjadikan perubahan besar suatu
Negara, sehingga rakyat mayoritas menyerahkan urusan kepada kelompok elite yang
lebih tahu segalanya. Namun disini kelompok minoritas belum benar-benar
mewakili golongan mayoritas.
Peran elite politik dalam kehidupan
sosial sebagai penggerak masyarakat sipil, yang terkadang merasa dirinya lemah.
Orang atau elite yang mempunyai kekuatan gagasanlah yang diperlukan dalam
perubahan status quo menjadi gagasan baru.
Pada saat adanya proses perebutan kekuasan dan uang ikut berperan dalam
hal ini, saat itulah kaum elite tidak bisa berbuat apa-apa bahkan bisa
tersingkir dari kalangan elite politik kemudian kembali menjadi masyarakat
sipil pada umumnya.
Kelompok elite tidak hanya mampu
mengendalikan masalah politik tetapi juga masalah ekonomi. Steven Lukes
mengatakan dalam bukunya, bahwa di dalam masyarakat kapitalis selalu ada dua
kelas berkepentingan, satu kelas kecil yang berkuasa dan yang lain yang tidak
memiliki kekuasaan. Struktur sosial dan ekonomi terorganisasi sehingga selalu
membela kepentingan kelas yang berkuasa dan merugikan kelas yang tidak memiliki
kekuasaan. Contohnya dalam politik proses
pendistribusian barang-barang tidak terbagi rata, kekayaan dan kelangsungan
hidup hanya milik elite politik saja.
Menurut Weber terdapat tiga sumber
kekuasaan, kekuasaan tradisional yang didasarkan atas kepercayaan, kekuasaan rasional yang berdasarkan atas
kercayaan terhadap legalitas peraturan
dan hak mereka yang memiliki kedudukan serta kekuasaan, dan kekuasaan
kharismatik yang berasal dari pengabdian diri. Sekarang ini sering terjadi
upaya retradisionalisme yaitu manipulasi simbol-simbol tradisional untuk
kepentingan sesaat politik.
Kekuasaan tradisional disini lebih
mengarah kepada elite agama atau yang sering disebut sebagai ulama/kiai,
pendenta, bikhsu, dan lain-lain. Jika dalam islam sendiri disebut ulama/kiai. Ulama
menurut K.H. Ali Yafi mereka yang mahir membaca Al-quran, pandai membaca buku
kuning, menguasai ilmu-ilmu keislaman seperti halnya tasawuf, fiqih, ilmu
falaq, tafsir, hadis,dan mengimplementasikanya dikehidupan nyata. Mereka juga
memiliki kualitas kesalehan, ketakwaan, dan integritas kemasyarakatan yang
tinggi serta diakui oleh lingkungannya. Elite agama mewarisi sifat nabi yang
tidak pernah takut pada siapapun kecuali pada Allah, namun tidak melulu masalah
ibadah yang mereka kuasai, persoalan kemandirian moral, ekonomi, dan politik
pun mereka kuasai.
Pada masa penjajahan belanda peran ulama
sangat kuat, mereka membentengi Negara dari
PKI, disitulah mereka menjadi agen of
change/ agen perubahan dan jembatan bagi pemerintah dengan rakyat sipil.
Perkembangan globalisasi yang semakin meningkat memaksa para ulam untuk tidak
hanya terpusat di pedesaan atau pesantren saja, tetapi juga di perkotaan
seperti kampus, mahasiswa, dan lainnya.
Entah
kenapa akhir-akhir ini peran ulama/ kiai tidak terlihat, justru elite umum yang
semakin menonjol khususnya di dunia perpolitikan. Sedangkan budaya politik di Indonesia masih stagnan. Era globalisasi ini
membuat mereka hanya mengejar status dibandingkan memikirkan
kemakmuran/kesejahteraan bersama, yang berubah drastis dalam politik di Indonesia yaitu sistem
pemerintahannya lebih demokratis.
Gerakan
sosial sejatinya membutuhkan peranan elite untuk mengendalikan, menggerakan
membuat, dan memutuskan kebijakan untuk menjadikan perubahan yang lebih baik,
tanpa ada peran elite, pemerintahan tidak mampu berjalan dengan baik dan
seimbang.
Komentar
Posting Komentar